Hari-hariku biasanya sangat
menyenangkan. Aku cukup pintar dan punya semua yang aku mau. Bukannya aku tinggi
hati, tapi selalu menjadi nomor 1 di kelas sejak sekolah dasar membuatku cukup
berbangga diri. Ya... sampai aku bertemu dia di kelas ini. Sejak tahun
pertamaku, aku sudah tahu tentang dia. Bagaimana bisa aku tidak tahu,
sepertinya semua wanita dikelasku membicarakannya. Ia yang pintar, katanya. Ia
yang tampan, katanya. Dan juga ia yang sedingin gunung es, yang ini aku
percaya. Dulu aku hanya tertawa saja ketika mereka berkata betapa beruntungnya
aku bisa satu kelas dengannya di tahun kedua. Tapi, mereka dan aku tidak tahu
akan merasa semengesalkan ini setelah mengenalnya.
Siang ini sang surya sepertinya sedang kesal, sama kesalnya dengan aku. Setelah mengumpulkan tugas di meja paling depan dari barisan, seperti biasa guru kami menyuruh orang yang duduk di paling depan untuk menukarkan tumpukan buku tersebut dengan barisan lain. Farhan Andara, yang selalu duduk di barisan paling depan berdiri dengan malas mengangkat tumpukan buku tersebut dan mengantarkan ke barisan seberang. Kemudian, ia melemparnya begitu saja ke meja sehingga beberapa buku berjatuhan mengenai wanita yang duduk disana dan sebagian ke lantai di bawahnya.
Ia hanya tersenyum kecut, “sorry...” dan berbalik menuju mejanya. Ia pasti mengira tidak ada orang yang melihat perbuatannya itu. Memang benar, sebagian besar teman-teman kami dikelas sedang sibuk mengoper buku dari barisan depan dan sebagian lain cuek saja. Sementara itu, si wanita dengan segera merapikan buku-buku yang terjatuh, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Nad, liat gak tadi si Farhan
ngapain?”, tanya Dini teman semejaku selama beberapa bulan ini.
“Iya, gue liat! Gila ya, jahat
banget sih!”, timpalku.
“Iya, jahat banget! Liat aja itu
di belakang teman-temannya pada cekikikan.” Aku menoleh ke belakang kelas, dan
benar saja. Teman-teman Farhan sedang menutup mulutnya menahan tawa, sebagian
dari mereka terlihat meledek ke arah depan, “cie..cie..”.
Aku menoleh ke arah depan.
Astaga, Farhan Andara tertawa seakan itu adalah hal yang lucu. Padahal sama
sekali tidak.
Farhan memang terkenal dingin pada wanita-wanita yang “ngefans” padanya, terutama yang tidak ia suka juga. Dia, si wanita, Amara, di kelasku ini memang katanya suka sama Farhan. Suka banget sepertinya malah sampai-sampai perilakunya terlihat aneh di depan Farhan. Inilah alasan mengapa ia selalu menjadi bahan ledekan yang empuk di kelasku. Farhan tidak pernah meredam perilaku teman-temannya pada Amara, bahkan ia ikut-ikutan!
Farhan memang terkenal dingin pada wanita-wanita yang “ngefans” padanya, terutama yang tidak ia suka juga. Dia, si wanita, Amara, di kelasku ini memang katanya suka sama Farhan. Suka banget sepertinya malah sampai-sampai perilakunya terlihat aneh di depan Farhan. Inilah alasan mengapa ia selalu menjadi bahan ledekan yang empuk di kelasku. Farhan tidak pernah meredam perilaku teman-temannya pada Amara, bahkan ia ikut-ikutan!
Aku sendiri
mengakui, Amara memang terlihat aneh, tapi sejujurnya aku juga merasa kasihan padanya.
Mungkin sikapnya ini akibat dari rasa sukanya pada Farhan. Kata orang, rasa suka
itu dapat merubah kita dan membuat kita melakukan hal di luar akal sehat.
Sejujurnya aku tidak tahu karena belum pernah merasakannya. Tapi, itu hipotesis
paling mungkin untuk kondisi Amara sekarang ini. Eh, tetap saja Farhan jahat!
“NAD!”, Dini
mengguncang-guncangkan tubuhku, menyadarkanku dari lamunan tentang seberapa
mengesalkannya Farhan hari ini.
“Kenapa sih, Nad?”, jawabku agak
malas
“Itu, liat di papan tulis
pembagian kelompok tugas IPA!”, nada Dini terdengar agak panik.
Aku menoleh ke papan tulis di
depan kami. “APA?!”
Kelompok 4
Nadhira Anggriani
Ridho Siswono
Dini Jelita Kurnia
Farhan Andara
Dari sebanyak 40 murid di kelas
ini, mengapa aku harus satu kelompok dengan dia. Tidak ada hari
yang lebih sial dari hari ini! OH, GOD PLEASE.
******************************* to be continue
Komentar
Posting Komentar