Hidup dalam atmosfir baru memang tidak pernah semudah
menghafal konsep adaptasi makhluk hidup dalam biologi. Bahkan, ketika
berkata siap untuk berlari pun masih saja sesak di jalan.
Masih berjalan tertatih ketika memasuki gerbang itu. Gerbang kecil, gerbang pertama penghubung mimpi di masa depan. Sulit untuk dijalani, katanya, tapi pasti dan bisa dijalani. Ya, seharusnya bisa seoptimis itu.
Bukan, tapi bukan itu inti tulisan ini. Bukan tentang mimpi yang sulit diraih.
Masalah mimpi, percaya saja, semua pasti sudah tepat diposisikan oleh Semesta. Tidak ada keraguan akan itu, bukan?
Ya.
Ini tentang perasaan seorang Dewi. Masih, masih sama. Seorang Dewi beranjak dewasa yang tak kunjung belajar.
Ya.
Dia lagi-lagi terjelembab, jatuh.
Jatuh?
Jatuh lagi bahkan sebelum ia bisa kembali berdiri tegak dari luka di masa lalu. Bukan, bukan karena Sang Dewi tak sadar. Justru ia terlalu sadar untuk menghindar. Melarikan diri sejauh mungkin dari rasa yang semakin mengembang besar. Setidaknya dia berusaha untuk itu.
Semakin berlari, semakin terasa.
Seperti memeluk pohon kaktus berduri, Sang Dewi berlaku tak peduli setiap hari. Lalu menangisi takdir yang tak jua bersinggungan lagi.
Apa yang begitu terasa perih ketika berada tepat di depan mata namun sulit untuk diraih ? Bersama hampir di setiap hari, seperti dua kutub yang saling berlawanan arah, tidak bisa saling menyatu.
ps: for the one who always makes me wondering why doing it-touched my hair-everyday.
Masih berjalan tertatih ketika memasuki gerbang itu. Gerbang kecil, gerbang pertama penghubung mimpi di masa depan. Sulit untuk dijalani, katanya, tapi pasti dan bisa dijalani. Ya, seharusnya bisa seoptimis itu.
Bukan, tapi bukan itu inti tulisan ini. Bukan tentang mimpi yang sulit diraih.
Masalah mimpi, percaya saja, semua pasti sudah tepat diposisikan oleh Semesta. Tidak ada keraguan akan itu, bukan?
Ya.
Ini tentang perasaan seorang Dewi. Masih, masih sama. Seorang Dewi beranjak dewasa yang tak kunjung belajar.
Ya.
Dia lagi-lagi terjelembab, jatuh.
Jatuh?
Jatuh lagi bahkan sebelum ia bisa kembali berdiri tegak dari luka di masa lalu. Bukan, bukan karena Sang Dewi tak sadar. Justru ia terlalu sadar untuk menghindar. Melarikan diri sejauh mungkin dari rasa yang semakin mengembang besar. Setidaknya dia berusaha untuk itu.
Semakin berlari, semakin terasa.
Seperti memeluk pohon kaktus berduri, Sang Dewi berlaku tak peduli setiap hari. Lalu menangisi takdir yang tak jua bersinggungan lagi.
Apa yang begitu terasa perih ketika berada tepat di depan mata namun sulit untuk diraih ? Bersama hampir di setiap hari, seperti dua kutub yang saling berlawanan arah, tidak bisa saling menyatu.
ps: for the one who always makes me wondering why doing it-touched my hair-everyday.
Komentar
Posting Komentar