Malam ini saya menemukan sesuatu yang menarik. Lagi. Blog teman lama saya. Tidak terlalu lama, baru saja satu tahun lebih sedikit. Saya agak terkejut sebetulnya. Karena kita teman, bahkan pernah sangat dekat, tapi saya baru tahu kalau dia menulis juga. Tulisannya lumayan juga. Tidak seperti saya, padahal blog ini sudah saya punya sejak smp, tapi 90 % isinya cuma curhatan tidak penting dan terkadang sumpah serapah. Dulu saya memang labil-mungkin sekarang juga masih- sehingga saya tidak dapat mengontrol tulisan saya. Bahkan tulisan saya pernah merusak hubungan saya sendiri. Menyampaikan "unspoken feeling" katanya. Haha. Kamu boleh tertawa, bebas saja, saja juga tertawa.
Ah iya, seperti yang tadi saya bilang. Kita dulu teman dekat, sahabat mungkin. Sekarang masih, semoga. Kemana-mana bareng. Saya ceritakan semuanya, aib sekalipun. (Ketika kita menyukai seseorang yang tidak memberi "feed back" itu aib, bukan?) Saya hidup di bawah bayang-bayang dia. Dia tidak hidup di bawah bayang-bayang saya. Dia tokoh utamanya. Saya pemeran pembantu melankolis. (Ah ya, selalu begitu.) Orang-orang mungkin memberi julukan, 'kalau ada dia, pasti ada saya'. Saya nomer dua, lagi-lagi. Tidak, saya tidak menyesali keadaan itu. Tetap bersyukur saja.
Jadi kita dulu pernah dekat sekali. Tapi hebatnya saya tidak tahu dia suka menulis. Apa mungkin saya lupa? Ah, jangan-jangan saya tertular teman saya yang pelupa itu (cie masuk postingan saya). Saya tahu dia suka gambar, suaranya bagus, pintar tiada tandingannya. Tapi menulis? Entah. Saya bukan penulis atau ahli sastra. Saya hanya mencoba meraba rasa dalam setiap tulisan. Tulisan punya rasa? Iya, menurut saya. Coba saja rasakan. Ada rasa berbeda di tiap tulisannya. Tapi yang paling kuat saya temukan dalam satu postingan. Saya tahu itu untuk "dia". Oh iya, saya lupa. Teman saya ingin tidak sediri, ada seseorang di sampingnya. Setia dan saling menjaga. Ah, itu dulu yang saya impikan. Oke, lupakan. "Dia" milik teman saya dan itu sudah lebih dari cukup bagi saya untuk jaga jarak. Tenang saja, saya tersenyum disini untuk kalian.
Seperti yang saya sudah bilang di atas, saya tidak tahu kalau dia suka menulis. Kita memang suka bertukar puisi terkadang. Saya suka berpuisi, baru tahu?
Kadang saya berpikir, jangan-jangan kita tidak pernah sedekat itu? Saya tidak banyak tahu. Bukankah kita tidak pernah saling menutupi? Mungkin dulu saya terlalu sibuk dengan ego saya. Sibuk dengan buku-buku saya. Sibuk dengan angka-angka yang tak habis pikir kenapa saya peduli. Membuat mata saya tertutup, bahkan kepada teman di samping saya. Entahlah.
Saya tidak pernah sepeka dia. Karena saya bukan dia tentunya. Beberapa hari lagi kita ketemu, setelah terakhir kali dia datang membawa kabar "itu". Kadang maish mikir juga harus bagaimana menyikapi mereka berdua. Pura-pura bahagia topeng terbaik tentunya. Ah, memang siapa bilang saya aslinya tidak bahagia? Saya bahagia, harus, karena masih ada mimpi-mimpi lain yang harus saya kejar. Masa depan yang indah tidak dapat diraih dengan santai, bukan?
Komentar
Posting Komentar