Sebenernya agak basi juga yah kalo gue disini, saat ini, tahun ini, ngomongin tentang move on. Secara tahun 2013 gitu loh, jaman aja ngomongin sakit hati, patah hati, atau move on. Cinta melulu. Tapi gak kenapa-kenapa lah yah, mumpung gue 'in mood' nulis. Supaya blog ini juga gak dikira tak berpenghuni.
Dari sumber yang gue lupa siapa atau apa namanya, move on itu adalah berhasil keluar dari sakit hati. Artinya, kita bisa dikatakan sudah move on kalau kita bisa membuka atau bercerita atau melihat kembali hal-hal yang dulu menyakiti kita tanpa ada rasa marah atau benci. Misalnya, kita bisa melihat foto atau benda kenangan dengan si 'penyakit' itu tanpa ada rasa apa-apa, atau biasa saja. Tapi biasa saja yang beneran loh. Bukan yang 'dibuat' biasa aja. Beda, k?
Dan gue pun jadi gatel pengen cerita tentang yang pernah gue alamin. Telat mungkin. Gue baru sadar ternyata gue sudah lolos dari jeratan love life gagal gue yang beberapa bulan lalu sukses menjatuhkan gue ke lubang penuh kotoran kuda. Saat itu gue berpikir.. Jangankan untuk keluar, bahkan jika gue berhasil keluar pun rasanya gue gak sanggup berdiri lagi. Bayangin lah yah, kotoran kuda itu wanginya kayak apa. Gue membayangkan apa jadinya saat orang-orang melihat gue nanti. Gue bahkan sempet nangis kayak orang gila. Nangis berkali-kali di hadapan temen gue yang pastinya juga bosen ngeliat gue kayak gitu. I really really felt stupid at that time. Lu yang tau ceritanya juga pasti berpikir kayak gitu, iya gak? Bagaimana bisa gue merasa sehancur itu hanya karena tokoh utama dalam sebuah cerita cinta pergi bersama teman gue? Cerita yang gue tulis sendiri dalam angan gue tanpa campur tangan dia. Dia yang berteriak dengan mantap tidak ingin berada dalam cerita itu. Bahkan hanya untuk sekedar melirik. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa..... Gin?
Setelah serangkaian badai yang memporak-porandakan hati gue (agak lebay, tapi bener), gue berpikir gue harus move on! Tentunya gue mulai dengan mengakhiri cerita yang pernah gue tulis. I'd not be happy ending... Lalu menjauhi semua tokoh yang terlibat di dalamnya. Terutama si tokoh utama dan seluruh urusan hidupnya. I really don't care anymore. But my life must go on.
And now, my heart goes straight. Belum ada yang bisa menjadi tokoh utama dalam cerita gue. I happy for it. Seperti definisi move on yang gue tulis di atas, move on gak harus pindah ke hati yang lain. Gak harus cari penggantinya. And I do believe it now.
Satu hal yang membuat gue bertahan. Walaupun satu pintu ditutup, masih ada pintu-pintu lain yang terdapat kebahagiaan dibaliknya. Gue percaya, semua orang ditakdirkan untuk orang baik. Dia bukan orang baik untuk gue, makanya dijauhkan. Tapi suatu saat nanti pasti akan ada saatnya takdir gue datang. And I must ready for it. We must reasy for it.
Aku merasa seperti seorang gadis tua. Seorang gadis berumur 29 tahun yang tidak mengerti apa pun tentang dirinya yang tidak tahu apa yang diinginkannya dalam hidup ini. Aku sebuah bola besar yang menggelinding kebingungan. * Buku ini aku dapat dari giveaway yang penulisnya buat di twitter tahun 2019. Jujur (dan sorry) aku sebenarnya tidak pernah tahu Nuril Basri. Memang pengetahuanku akan penulis juga kurang, karena buatku membaca seringnya hanya tentang cerita dan isinya. Jadi, seharusnya sih review ini terlihat cukup jujur. Pada cover buku ini tercantum kutipan menarik dari British Council " One of five Indonesian authors to read now " yang agak meningkatkan ekspektasiku. Ditambah lagi, tercantum juga bahwa beberapa karya dari penulis ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Malaysia dan Inggris, membuatku tambah penasaran. Di tahun 2019, setelah membaca halaman-halaman awal, aku merasa kurang motivasi untuk melanjutkan. Aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal, tap...
Komentar
Posting Komentar