Dua jam berlalu semenjak bel sekolah itu bernyanyi. Suasana sekolah yang tadinya ramai, mulai sepi. Hanya terlihat beberapa murid di sudut dan lorong sekolah. Kelas-kelas telah terkunci rapat. Ada yang sibuk mengerjakan tugas, mengikuti ekstrakulikuler, atau sekedar bersantai di taman sekolah dan enggan pulang ke rumah.
Di sudut lain, Inggit berjalan menuju tangga terdekat dari kelasnya, ia ingin segera pulang ke rumah. Ia baru saja menyelesaikan tugas kelompoknya 10 menit yang lalu. Setelah sejenak berbincang-bincang dengan temannya, ia memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Badannya terasa remuk redam karena padatna rutinitas seminggu ini. Maklum, ia adalah murid kelas 3 SMA yang harinya-harinya penuh dengan belajar dan belajar. Apalagi sekarang ia juga mengikuti bimbingan belajar hingga malam hari. Inggit turun dari lantai dua dan berjalan menuju gerbang sekolahnya. Ia berjalan sambil terus menggerutu tetang tempat parkir sekolahnya yang tak kira-kira luasnya itu. Tapi ia mencoba tersenyum mengingat kasur empuk yang sudah menantinya di rumah.
Di belokan menuju pintu gerbang, Inggit melihat sosok itu. Lelaki yang pernah mengisi ruang hatinya setahun lalu. Ian, yang dulu memberinya harapan akan sebuah cinta yang utuh, lalu pergi begitu saja meninggalkannya. Sudah berbulan-bulan lamanya Inggit menjaga jarak. Ia juga sudah membuang jauh perasaannya kepada Ian. Bahkan, ia telah siap untuk berteman lagi dengan Ian. Walau tentu saja takkan semudah ucapannya.
Inggit berjalan kaku melewati Ian yang baru saja mengikat tali sepatunya. Ia agak menyesal karena tak juga dapat menyunggingkan senyuman sedikit pun. Ia telah terbiasa mengacuhkan keberadaan Ian dalam hidupnya.
Ian berdiri mematung menatap punggung Inggit yang terus menjauh. Ia tersadar, lalu mencoba meraih pundak Inggit. Menepuknya. "Nggit!"
Inggit terkejut, dengan cepat ia menoleh ke sumber suara. "Astaga! Ian!"
"E,eh.. Sorry Git, gua gak maksud.."
"Iya,iya. Ada apa emangnya?"
"Ada yang pengen gue omongin sama lu."
"Oh, yaudah omongin aja sekarang."
"Gak bisa disini, Git."
"Lah, terus dimana?"
"Lo udah makan siang belom?"
"Belom sih. Emang kenapa?"
"Yaudah, makan mie ayam yuk! Yang di jalan Jaya Raya. Enak kok, nyaman juga tempatnya."
"Hmm... Yaudah deh. Gue gak bisa sampe sore yah tapinya."
"Iya sip! Nanti lo gua anter pulang deeeeh."
Ian lalu menarik tangan Inggit berjalan menuju motornya. 'Gak berubah juga dia, Ian, Ian.', serunya dalam hati.
"Turun, Git. Udah sampe."
Dengan susah payah Inggit turun dari motor gede Ian. Ia melihat keseliling warung kecil dihadapannya ini. Benar kata Ian, tempatnya nyaman dan kelihatannya makanan yang dijual disini pun menyelerakan.
"Ayo masuk, Git!" Suara Ian menghamburkan lamunan Inggit yang tidak sadar sejak tadi terpatung di depan warung. Inggit masuk mengikuti Ian yang sudah setengah jalan menuju pintu warung.
Mereka memilih meja tengah dekat pintu. Warung ini sangat ramai pembeli, mulai dari anak-anak smp, sma, juga karyawan-karyawan pabrik di kawasan ini. Inggit melihat-melihat menu yang tersedia di meja. Ternyata warung ini menjual berbagai jenis mie ayam, seperti mie ayam bayam, keju, cabai dan lain-lain.
Tiba-tiba Ian merebut buku menu itu, lalu menutupnya. "Biar gue yang mesenin yah, gue pilihin yang paling enak disini." Inggit hanya bisa mengiyakan. Ia seperti deja vu dengan adegan seperti ini.
"Lo udah sering kesini ya?" "Iyah. Ini tempat favorit gue kalo bete sama masakan rumah."
"Hmm.."
Masing-masing tenggelam dalam pikirnya, enggan membuka percakapan. Seketika suasana berubah menjadi sangat kaku.
Keheningan itu pecah ketika pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Dua mangkuk panas mie ayam bayam tepat di depan mata. Begitu menggiurkan.
"Jangan kelamaan diliatin. Nanti ilernya masuk ke mienya loh."
"Ih apaan sih, Yan! Jijik banget sih lo!"
"Hahaha! Yaudah makanya cepet dimakan."
Inggit mulai mengaduk mie ayamnya, memasukannya ke dalam mulut. Ia terkagum-kagum menikmati kelezatan makanan yang ada dihadapannya itu.
"Git.."
"Apaan?" Inggit menolehkan sejenak pandangannya ke Ian, lalu fokus kembali dengan mie ayam yang sudah merebut hatinya itu.
"Gue mau minta maaf soal waktu itu. Gue tau, gue salah dan udah nyakitin lu."
Inggit berhenti menguyah, lalu menyeruput es jeruk dihadapannya. Ia menatap Ian yang merunduk.
Inggit menarik napas panjang. Ia lalu tersenyum.
"Yaudahlah, Yan.. Itu kan udah lama banget. Gue udah gak kenapa-kenapa kok. Lagian gue yang kayak anak kecil marah-marah gak jelas."
"Tapi.. Beneran deh, Git. Gue minta maaf banget. Gua tau lo suka sama gue, tapi waktu itu gue bener-bener gak bisa sama lo. Gue juga gak ngehargain usaha lo selama itu. Padahal lo udah baik banget sama gue."
"Iyah, udahlaaaaaah. Gue udah lupain semuanya kok. Gue sadar cinta itu gak bisa dipaksain. Cinta memang anugerah dari Tuhan, tapi gue gak mau karena cinta gue ini malah bikin susah orang yang gue cintai atau diri gue sendiri." Inggit menelan ludah, kerongkongannya seketika kering kerontang.
"Gue udah salah sama lo, Git. Gue yang ngasih harapan lebih sampe lo punya perasaan itu."
"Enggak juga kok. Ini bukan sepenuhnya salah lo. Ini salah gue juga yang ngebiarin rasa itu terus tumbuh walaupun tau kalo gak akan terbalaskan. Juga turut campur tangan takdir yang gak pingin kita jadi satu." Inggit menyeruput lagi es jeruknya yang sudah tak lagi dingin. "Lo tenang aja. Gue sudah belajar mengikhlaskan orang yang gue cintai pergi kok."
"Kalo sekarang orang itu berbalik menuju lo gimana, Git?"
Hening.
Inggit mengaduk-aduk mie ayam di mangkuknya yang tinggal sedikit dengan gelisah, sementara Ian menatapnya, menunggu jawaban. Inggit terdiam. 'Apa sebenarnya maksud Ian?', benak Inggit.
"Git............ Inggit..?" tanya Ian lagi. Kini dengan lebih hati-hati. Ia tahu perempuan di depannya sedang shock mendengar pernyataannya. Sedikit sesal pun merasuki hatinya.
"Yan, gue harus balik sekarang. Udah sore."
"Hmm.. Oke. Gue bayar dulu ya. Tunggu bentar, gue anter lo pulang." Dengan wajah kebingungan, Ian berjalan menuju meja kasir. Inggit menatap sisa mie ayamnya di mangkuk. Sungguh, ia sudah tak berselera lagi.
Komentar
Posting Komentar