***
"Udah ya, aku tutup."
Beberapa detik kemudian suara diujung sana menghilang. Aku terdiam, merasakan sepi yang tidak aku mengerti. Tidak hanya pada indera pendengaranku, tetapi juga jauh dalam diriku.
Aku bersandar pada kursi yang tidak lagi kurasa empuk, kurekatkan kepalaku dalam-dalam pada sandarannya. Aku menatap langit-langit yang diterangi lampu. Aku memohon pada semesta, meminta kekuatan yang jauh-jauh telah aku persiapkan untuk waktu-waktu ini. Hati kecilku berharap, jangan sekarang.
Tapi, inilah waktunya. Sesuatu yang selalu menjadi kekhawatiranku benar-benar terjadi sekarang. Aku melempar telepon genggamku ke meja. Aku menangis sejadi-jadinya.
***
Hari ini aku bangun dengan wajah membengkak dan merah-merah. Aku mencoba mengingat-ingat lagi apa yang aku lakukan setelah sampai di rumah semalam. Aku memutuskan untuk lembur dan ambil kereta pulang di jadwal paling akhir. Aku hanya ingin melupakan kata-katanya ditelepon sore hari itu, juga keadaan kami sekarang akibatnya.
Setelah mandi, aku berjalan menuju meja makan. Ada sepiring roti isi dan catatan kecil disana, pasti dari ibuku. Orang tuaku pergi mengunjungi kakek dan akan kembali lagi di malam hari. Aku menggit roti itu sedikit, lalu kusimpan lagi diatas piringnya. Roti isi buatan ibu enak seperti biasa, namun aku sedang tidak berselera hari ini. Aku kembali ke kamarku.
Aku mengambil telepon genggam dari dalam tas. Aku sedikit bersyukur, ia masih selamat tanpa lecet. Aku mengetik pesan singkat untuk sahabatku yang tinggal jauh diluar kota.
Gue putus sama Pian.
Tidak butuh waktu lama hingga telepon genggamku berdering. Aku menangis sekali lagi.
***
Dua tahun lalu.
"Pian, menurut kamu kita apa?"
"Kita udah tau perasaan kita satu sama lain. Coba kamu pikir ini apa?" Ia tersenyum tipis.
"Kalau kamu serius, kamu tau kan syarat dari Ayah aku cuma satu : sama."
Ia menatap jalanan dibalik setirnya. "Iya, aku tau. Kita jalani dulu aja apa yang ada sekarang ya.."
"Pian, menurut kamu kita apa?"
"Kita udah tau perasaan kita satu sama lain. Coba kamu pikir ini apa?" Ia tersenyum tipis.
"Kalau kamu serius, kamu tau kan syarat dari Ayah aku cuma satu : sama."
Ia menatap jalanan dibalik setirnya. "Iya, aku tau. Kita jalani dulu aja apa yang ada sekarang ya.."
![]() |
(Photo by Hipwee, searched in Google 24/6/18) |
Terlalu mengharukan...
BalasHapusBtw, di paragraf "roti dari ibu" ada *menggit*
Hmmmmmmmm
Hahaha sumpah yg dikomen typonya!!!
BalasHapusLagian kan ceritanya menarik, tapi ada 1 kata yang nyelip di gigi. Kurang sedap.
Hapus