Aku ingin menulis sajak tentang waktu, walau sudah banyak yang melakukannya.
Waktu bukan hanya berkaitan dengan hitungan satu jam dalam setiap enam puluh menit atau tiga ribu enam ratus detik yang tidak pernah kita hitung dalam angka satu dua tiga... tiga ribu enam ratus secara lisan. Tapi juga pada setiap tiga puluh hari dalam sebagian besar bulan genap, tiga puluh satu untuk ganjil, serta minggu-minggu yang mengisinya. Juga untuk setiap dua belas bulan pada setiap tahun, tiga ratus enam puluh lima hari dan atau tiga ratus enam puluh enam hari setiap empat tahun. Dimana setiap waktu membawa setiap perubahan, baik atau buruk, juga tidak membawa setiap perubahan, baik dan buruk.
Seorang aku, mungkin juga kalian, tiba-tiba saja, ingin bertanya-tanya pada waktu.
Bagaimana bisa waktu satu tahun dapat membuat seorang laki-laki yang pernah hancur hatinya, yang datang dengan isak amarah, yang harus mengais-ngais harga dirinya di tanah, yang bersumpah-serapah setelah pengkhianatan wanitanya itu, menjalin sesuatu yang sama kembali dengan wanita lainnya? Lihat saja, bagaimana ia pergi dan menghilang begitu lagi. (iya, apa kabar?)
Sedangkan pada waktu tahun-tahun yang lain, seorang bapak selama delapan belas tahun masih betah mengayuh becak, menguras tulang dan keringat dari pagi hingga petang hari. Ia telah cukup banyak menikmati perkembangan manusia-manusia di daerah itu, sejak mereka masih terbata berbicara dan mengeja perkata, hingga sekarang salah satunya bercita-cita menulis buku sendiri. Ia mungkin tahu, kini tidak sama lagi, dengan kemajuan peringan kerja otak manusia, bagaimana bisa ia bertahan?
Lagi.
Pernah dua orang (dan banyak orang) hanya perlu waktu satu bulan untuk saling akrab, menjalin lingkaran pertemanan dengan tawa dan canda, tidak sedikit pula ejekan yang justru menambah kedekatan dan keberterimaan masing-masing diri (menurut standarnya, bukan AOAC). Aku tanya sekali lagi, bagaimana bisa waktu membuatnya menerima keterbelakangan sifat yang jelas dilingkari dengan garis hitam tebal, hanya dengan selalu bersama dalam salah satu pekerjaan?
Kemudian, pada waktu tiga puluh hari berikutnya lingkaran tersebut membentuk dua garis lurus tajam dengan arah berbeda, saling kecam. Waktu satu bulan sebelumnya ibarat hanya satu kedipan mata, hilang dan terlupakan, bagaimana bisa? Jangan tanya alasanya, mungkin lingkaran itu memang sejak awal tidak harus terbentuk, cukup terlihat dipaksakan saat ini. Atau karena salah satu garis merasa ada yang salah, dan atau garis lainnya yang selalu sangat menyalahkan. Yang pasti, ada benarnya bahwa membangun lebih mudah daripada mempertahankan, dan menghancurkannya jauh lebih mudah lagi.
Lagi.
Tidak ada lagi.
Belum ada lagi.
Ada, tapi tidak jadi.
Satu yang mungkin tidak (jadi) akan aku tanyakan pada waktu. Mengenai tangis yang tiba-tiba pecah pada waktu detik-detik ketika satu nafas tiba-tiba terhenti, ketika detak sudah tidak lagi berbisik, dan pada tubuh-tubuh yang perlahan mengkaku. Serta pada detik-detik di belahan bumi lain yang menjadi saksi datangnya satu nafas baru, yang justru tangisnya sangat ditunggu. Atas kuasa waktu dan Semesta.
*
Ah, aku juga ternyata tidak ada bedanya, menjadi korban perubahan waktu. Nyatanya pada waktu menit-menit awal aku masih belum ragu dengan yang aku tulis, pada menit-menit berikutnya aku malah kehilangan arah (selalu), dan menit-menit terakhir sudah menyerah.
Jadinya, ini bukan sajak, apalagi kisah menginspirasi. Bukan sama sekali.
GK
Jadinya, ini bukan sajak, apalagi kisah menginspirasi. Bukan sama sekali.
GK
Komentar
Posting Komentar